Tentang Privasi Anak

Perlukah menjaga privasi anak di jaman interkoneksi digital?

DiPtra
diptra

--

image by Daiga Ellaby from unspalsh.com

Sebagai orang tua yang baru memiliki anak, mengunggah foto anak ke media sosial merupakan sebuah kesenangan tersendiri. Wajar saja sih, sebab euforia kebahagiaan atas manusia kecil yang baru hadir di bumi memang begitu membuncah.

Saya pun juga mengalami hal ini. Ketika Raffii lahir dan beberapa bulan setelahnya, saya merasakan kesenangan tersendiri ketika memajang foto lucu Raffii di akun Instagram yang saya miliki.

Belum lagi ketika ada like pada foto Raffii yang saya unggah, senang sekali rasanya. Juga ketika ada komentar yang memuji kelucuan ekspresi Raffii pada foto yang saya unggah. Hmm, orang tua mana yang tidak sumringah ketika anaknya dipuji?

Kemudian, saya mulai berpikir ulang ketika mendapati berita penangkapan sindikat pedofilia yang melakukan koordinasi aksi melalui grup di Facebook. Yaa, boleh dibilang saya sedikit paranoid saat mendapati informasi itu.

Akhirnya saya sampai kepada sebuah pemikiran. Apakah Raffii bakal merasa nyaman jika saya mempublikasikan foto-fotonya di Instagram. Memang Raffii masih kecil dan belum memahami konsep ini. Tapi dalam persoalan hak, saya rasa Raffii memiliki wewenang yang sama perihal foto-foto tentang dirinya.

Sebuah wewenang tentang penampakannya di media sosial. Sebagai orang tua, saya merasa egois ketika memunggah foto Raffii di media sosial sedangkan yang bersangkutan masih belum memahami apa itu media sosial. Demi kepuasan pribadi, saya merasa naif ketika melakukan hal ini.

Pun misalkan foto-foto saya ketika kecil dipublikasikan di media sosial oleh orang tua saya, bisa jadi saya juga tidak berkenan. Menempatkan Raffii sebagai orang dewasa dalam persoalan media sosial.

Jadi, beberapa pekan lalu Instagram memperkenalkan fitur archive untuk foto-foto yang pernah diunggah di dalamnya. Maka bertalian dengan pemikiran privasi terhadap anak ini, saya mulai meng-archive foto-foto Raffii yang pernah saya unggah pada akun Instagram saya.

Mungkin sebagian teman-teman yang membaca tulisan ini berpendapat saya sedikit lebay. Toh selama anak belum mencapai usia aqil baligh, orang tua bebas-bebas saja mengunggah foto anaknya yang lucu dan menggemaskan itu.

Atau berbagi foto anak di media sosial kan sebagai wujud syukur diberi amanah merawat anak. Dengan kata lain berbagi kebahagiaan dan keceriaan.

Tapi untuk kesempatan kali ini saya ingin melindungi privasi yang dimiliki oleh anak saya — Raffii — walaupun saat ini dia belum memahami apa itu privasi. Nanti jika dia sudah dewasa saya akan memberikan history potret tentang dirinya yang pernah saya abadikan dalam bentuk digital.

Biarkan Raffii ketika dewasa memutuskan potret masa kecil bagian mana yang ingin diperlihatkan kepada publik.

Beberapa hari ini saya menahan keinginan berat untuk mengunggah foto-foto Raffii ke media sosial. Pasalnya, saya berhasil menangkap dengan kamera handphone momen-momen menggemaskan Raffii. Juga saat ini Raffii sudah mulai pandai bergaya di depan kamera.

Anyway, akan terasa aneh bin awkward jika ada orang men-stalking profil saya, tau sampai detail foto-foto saya ketika kecil. Dan saya tak ingin hal ini terjadi kepada Raffii.

Salam, DiPtra.

--

--